Rabu, 29 Agustus 2018


EKSISTENSI DAN KEUTAMAAN WANITA DALAM VEDA*
OLEH: PUTU SUDARMA, S.Ag*


Masyarakat tidak dapat berkembang dengan hanya memberikan pendidikan dan kesempatan kepada kaum pria dan meniadakan kaum wanita. Pria dan wanita dapat dianalogikan bagaikan sepasang sayap burung; jika salah satu sayap burung itu dihilangkan, niscaya burung itu tidak dapat terbang.
Wahai wanita, engkau adalah perintis, cemerlang, mantap, pendukung, yang memberi makan dan yang menjalankan aturan-aturan seperti sang suami. Hamba memiliki engkau di dalam keluarga untuk usia panjang, kecemerlangan, kemakmuran, dan kesuburan pertanian untuk kesejahteraan


Pendahuluan

Dalam Manavadharmasastra III.56, wanita mendapat perhatian yang sangat signifikan, bahkan demikian bermakna sebagai insan suci yang harus dijaga bahkan dihormati, sama dengan kaum pria, terlebih dalam hal peranan luhurnya. Menjadi lebih penting lagi ketika keluhuran dan keutamaan seorang wanita hendak mendapat pengakuan saat harus memainkan peranannya sebagai  insan yang mau tidak mau mesti mendayagunakan segala potensi diri, dengan menahkodai sebuah institusi misalnya. Atau paling tidak dapat menjadi panutan dengan segala kekokohannya yang tidak saja bagi kaumnya sendiri tetapi semua orang (termasuk tentunya kaum laki-laki). Inilah harapan terbesar yang tidak saja diimpikan tetapi harus benar-benar menjadi sebuah kenyataan yang membuka mata, hati dan kuping kita untuk sadar bahwa sesungguhnya Hindu mempunyai semua itu.
Persoalan klise, kalau tidak disebut lagu lama adalah ketika sebagian besar pria dengan segala keperkasaannya sering menganggap bahwa kaum wanita yang dari kodratnya adalah mahluk lemah lembut dan berperasaan halus adalah kaum yang tidak mampu mengemban amanat sebuah tantangan. Hal ini tidak saja mendiskreditkan wanita karena mengeksploitir hanya dari sudut fisiknya (gender), tetapi juga keraguan terhadapnya lebih karena ikatan emosional yang terlalu kuat diyakini akan terbawa ke dalam tantangan-tantangan itu sendiri. Namun sebelum jauh berbicara tentang wanita,  Apa dan siapa sebenarnya wanita itu ?
Kata wanita berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari akar kata kerja “wan = menghormati (kata kerja kelas X Parasmaipada)”. Dari akar kata kerja “wan” kemudian menjadi “wanita” setelah mendapat suffix “hita/ita” yang artinya baik, mulia, sejahtera. Ada beberapa ahli yang mengatakan bahwa wanita berasal dari kata “watina atau batina (betina), dan dalam perkembangan lebih lanjut menjadi wanita (gaya metatisis). Menurut Prof. Moh. Yamin, menyebut istilah lain untuk wanita adalah “perempuan” yang berasal dari kata ‘empu’ atau’pu’ dan suffix ‘an’. Kata perempuan berarti mereka yang utama, dimuliakan atau dihormati. Dalam sastra Hindu istilah ‘empu’ adalah sebagai gelar untuk orang suci Hindu, dan juga gelar yang diberikan kepada mereka yang patut dihormati atau dimuliakan. Demikian juga dengan istilah empu jari yang berarti ibu jari atau jempol.
Dalam konteks Dharma yang berarti guna wanita disebut sebagai “stri”, sehingga muncul istilah Stri Dharma (Dharma seorang wanita). Kata stri terdiri dari tiga suku kata, “SA”, “TA”,”RA”. SA adalah svabhimānam, harga diri; TA adalah thyagam, berkorban; dan RA adalah rasa, rasa manis. Itulah yang menjadi sifat dasar dan alamiah seorang wanita. Di antara ketiga guna itu svabhimānam atau harga diri adalah yang paling penting bagi wanita. Tanpa harga diri, seorang wanita tidak dapat hidup damai dan bahagia. Jika  wanita kehilangan harga diri dan martabatnya, maka wanita akan jatuh ke dalam anggapan dan nilai-nilainya sendiri dan tidak mampu hidup tenang.
Bila berbicara tentang Stri dharma dalam kontek sikap dan prilaku, dharma seorang wanita adalah menjadi anak perempuan yang baik lalu menjadi menantu, istri, dan ibu yang baik. Menurut dharmanya ini, karmanya memerintahkan bahwa wanita mesti belajar dengan baik dan meraih pendidikan yang bagus. Bila menikah  dia mesti melayani sanak saudara suaminya dan suaminya dengan kasih, merawat anak-anaknya dan memperhatikan keperluan-keperluan mereka serta pertumbuhan mereka sebagai mana mestinya.
Dengan perbandingan beberapa istilah tersebut, wanita atau berempuan mempunyai pengertian mereka yang memiliki nilai utama, mulia, suci dan patut dihormati.

Eksistensi Dan Keutamaan Wanita

Pengkajian tentang kedudukan wanita dalam agama Hindu sungguh sangat menarik, karena wanita, perempuan atau stri merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat. Kita sulit membayangkan bila dalam masyarakat tidak terdapat seorang wanita. Manusia yang lahir ke dunia  merdeka dan mempunyai martabat serta hak yang sama di hadapan Brahman, baik pria mapun wanita. Istilah dewa-dewi, putra-putri, lingga-yoni dalam ajaran Hindu menggambarkan bahwa dualisme ini sesungguhnya ada dan saling membutuhkan karena Brahman menciptakan semua mahluk hidup selalu berpasangan. Di dalam kitab suci Veda hubungan antara suami–istri dalam ikatan perkawinan disebut sebagai satu jiwa dari dua badan yang berbeda, sebagai berikut:
“Hendaknya manis bagaikan madu cinta kasih dan pandangan antara suami-istri penuh keindahan. Semogalah senantiasa bahagia tanpa kedengkian (di antara mereka). Semoga satu jiwa bagi keduanya”. Atharvaveda VII.36.1

Terjemahan mantra suci Veda di atas menyatakan bahwa sesungguhnya jiwa manusia adalah sama, kondisi fisiklah yang membedakan. Dalam mengembangkan potensi dan profesi masing-masing, baik pria mapun wanita mendapatkan kesempatan yang sama. Lebih jauh di dalam Manavadharmasastra diuraikan bahwa Brahman menciptakan alam semesta beserta segala isinya dalam wujud “Ardha-nari-isvari” sebagian sebagai pria dan sebagian lagi sebagai wanita:
“ Dengan membagi dirinya menjadi sebagian laki-laki dan sebagian perempuan (ardha-nari-isvari), Ia ciptakan Viraja (alam semesta). Manavadharmasastra I.32.

Dari sloka di atas dapat dipahami bahwa dualisme pria dan wanita tidak dapat dihindari keberadaannya seperti halnya keberadaan siang dan malam yang tak kuasa kita lawan. Yang terpenting adalah bagaimana menjaga hubungan tersebut agar harmonis. Untuk itu ajaran agama Hindu menanamkan kepada manusia Hindu bahwa bagi mereka yang masih kecil harus taat kepada orang tua, yang belum menikah ditekankan mempertahankan kegadisan dan keperjakaannya, dan bagi yang sudah grhastin ditekankan moral kesetiaannya kepada pasangannya.
Wanita Hindu dalam segala aspek baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, atau bangsa memegang peran yang amat penting, disamping peran pokoknya sebagai ibu rumah tangga (dharmapatni) yang berkewajiban mendampingi suaminya, membina dan menyelamatkan rumah tangga. Dalam panggung sejarah agama Hindu dari masa ke masa tidak sedikit kita lihat peran wanita dalam dunia pendidikan, agama, seni dan  udaya, pemimpin dan juga sebagai pejuang langsung di medang perang seperti yang dijelaskan dalam sarvanukramanika, terdapat 20 wanita yang dianggap mempunyai instuisi tajam (Rsi) yang ikut berperan menyusun kitab Ŗgveda.Beberapa yang menonjol adalah Lopamudra,Visvavara, Sikata Nivavari, dan Gosha yang secara berturut-turut adalah penyusun Rgveda I.179, V.28, VIII.91, IX.81.11-20 dan X. 39-40. Mereka itu diyakini adalah wanita yang benar-benar hidup dalam komunitas Hindu. Bahkan Gargi dan Maitreyi juga disebut-sebut pernah dan telah berdialog dengan Ŗşi Yajñavalkya dalam usahanya menemukan kebenaran yang absolut. Kumpulan dialog ini terhimpun dalam Maitri Upanisad. Tokoh –tokoh wanita seperti Sulabha, Maitreyi, Vadava Prathiteyi dan Gargi Vachaknavi sampai saat inipun masih mendapat penghormatan dari para penulis dan sarjana yang berpandangan tajam yang selalu ingat akan kewajibannya untuk berdoa saat Brahmayajna. Ini sesuai dengan keterangan yang terdapat dalam Asvalaya Griya Sutra III4.4.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan berkenaan dengan eksistensi wanita, yaitu bahwa wanita secara fisik apapun alasananya memang lebih lemah dari kaum laki-laki, disamping itu secara kodrati wanita dapat hamil, menyusui dan datang bulan. Kodrat inipun terkadang dilanggar oleh kebanyakan kaum wanita dengan gerakan emansipasi sehingga tidak sesuai dengan jiwa gerakan itu sendiri yaitu menegakkan proporsi wanita sesuai dengan kodratnya. Wanita karier adalah hak asasi sepanjang tidak meninggalkan kodratnya sebagai wanita. Menjadi wanita karier bukan berarti boleh tidak setia dan tidak menghormati suami dan tidak menyusui anak, anggapan ini salah besar. Memang wanita dihadapkan kepada hal yang dilematis karena keadaan fisiknya yang secara kodrati lebih lemah dari laki-laki, di satu sisi ingin eksis bersama kaum laki-laki dan di sisi yang lain dia harus taat kepada kodratnya. Dalam hal ini harus disikapi secara arif dan bijaksana, artinya kasuistis tidak bisa dijadikan ukuran bahwa wanita kedudukannya sebagai second class apalagi out class. Pandangan ini sangat keliru dan bahkan dapat dikategorikan sebagai propokasi kemesraan hubungan laki-laki dan perempuan dengan isue gendernya. Wanita dituntut harus mampu mengkolaborasikan karier atau pekerjaan dengan urusan rumah tangga bila ia telah memilih untuk menjadi wanita karier.
Kewajiban yang berlainan ini diciptakan oleh Brahman agar manusia dapat saling melengkapi dan harmonis. Karena sesungguhnya menurut ajaran agama Hindu wanita memiliki kedudukan yang terhormat sesuai kodratnya seperti diuraikan dalam Manavadharmasastra sebagai berikut:
“ Wanita harus dihormati dan disayangi oleh ayahnya, kakaknya, suami dan ipar-iparnya, jika menghendaki kesejahteraan”.
“ Di mana wanita dihormati di sanalah para dewa merasa senang tetapi di mana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun dalam keluarga itu akan berpahala”.
“ Di mana warga wanitanya hidup dalam kesedihan, keluarga itu cepat akan hancur, tetapi di mana wanita itu tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia”.
“ Rumah di mana wanitanya tidak dihormati sewajarnya, mengucapkan kata-kata kasar, keluarga itu akan hancur seluruhnya seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib”. Manavadharmasastra III.55-58.

Dari terjemahan sloka di atas dapat dipahami, sesungguhnya kedudukan wanita atau perempuan di dalam agama Hindu sangat terhormat, sebab bila tidak ada penghormatan kepada wanita, maka seluruh aktivitas ritual tidak akan bermanfaat. Hingga dewasa ini wanita mendapat kehormatan khususnya dalam berbagai pelaksanaan upacara yajna. Nilai tawar wanita menurut Hindu sebenarnya cukup kompetitif karena secara hakiki Brahman menciptakan dua insan berbeda jenis kelamin ini dalam kapasitas saling membutuhkan dan saling melengkapi. Jadi keunggulan kaum pria ada kalanya tidak ada pada wanita dan sebaliknya, oleh karena itu maka dua insan ini terdorong saling memerlukan dan selalu ingin bersatu agar kekurangan masing-masing menjadi lengkap. Selain posisi terhormat salah satu keunggulan komparatif wanita yang termaktub dalam kita suci Veda yaitu:
“ Orang yang jahat ini memperlakukan kami sebagai wanita yang tidak berdaya, tetapi kami berani dan sebagai ibu dari anak-anak laki-laki yang gagah perkasa, layaknya istri dari dewa Indra dan sahabat para dewa Marut”. Rgveda X.8.9

Dengan merujuk kepada terjemahan mantra Ŗgveda di atas semestinya dua insan ciptaan Brahman yakni pria dan wanita harus menyadari bahwa tidak ada yang harus dipinggirkan sehingga keutuhan, kesempurnaan dengan mudah diwujudkan jika perpaduan keunggulan komparatif masing-masing gender dipadukan secara harmoni. Namun mantra di atas tidak dapat dijadikan sebagai ungkapan emosional aktivis emansipasi wanita agar gregetnya muncul ke permukaan dengan berpedoman pada satu kasus yang terjadi yang belum tentu mewakili untuk digeneralisir bahwa kaum pria memarginalkan wanita. Tampaknya kasus tersebut lebih layak dikatagorikan sebagai kekeliruan prilaku oleh sebagian kaum pria terhadap kaum wanita. Kekeliruan prilaku ini disebabkan oleh multi faktor yakni salah satu faktornya adalah ketidakmampuan yang mengarah pada kesalahan interpretasi dari sebagian kaum pria terhadap paradigma kehidupan kaum pria dengan kaum wanita.
Penghargaan kepada perempuan, wanita istri atau putri sesungguhnya demikian tinggi. Di dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya, dengan demikian maka bila terjadi pelecehan terhadap wanita, sesungguhnya pelakunya yang tidak memahami tentang kedudukan wanita dalam agama Hindu. Kenyataan ini mendapat pembenarandari kitab Bhagavadgītā IX. 32, yaitu:
“ Mam hi partha vyapasritya ye’pi syuh papa-yonayah, striyo vaisyas tatha sudras te’pi yanti param gatim”
Wahai  Partha, mereka yang berlindung kepadaKu, walaupun mungkin berkelahiran rendah, para wanita, Waisya, dan juga Sudra, mereka juga mencapai tujuan tertinggi.

Śloka ini memberi kita kesadaran memandang bahwa setiap orang dapat mencapai tujuan tertinggi, termasuk wanita. Apakah mereka dilahirkan dalam keadaan yang lebih rendah (pāpayonayah), wanita, pedagang maupun buruh, asalkan mereka vyapasritya atau berlindung secara khusus kepada Tuhan.
Gambaran kekokohan,  keutamaan atau keunggulan wanita yang  dikemukakan dalam kitab Veda, antara lain: Dalam Aitareya Brahmana I.2.5  disebutkan: “ Tasmat puruso pittva kstsnataranivatmanam matyate” : “ Seorang suami dikatakan tidak akan mencapai kedudukan sebagai rohaniawan murni kecuali ia  ditemani oleh istrinya sendiri dalam kegiatan kerohanian tersebut”. Hal senada dinyatakan dalam Sathapata Brahmana V.2.1.8 seperti yang dikutip oleh A.S Altekar sebagai berikut: “ Seorang suami tidak bisa masuk sorga seorang diri, dia harus memanggil istrinya untuk menemani dirinya di dalam pendakian simbolik dalam upacara persembahan”. Sedangkan dalam Sathapata Brahmana V.1.6.10, memberi keterangan penting bagi kaum perjaka, yaitu: “ Tuhan tidak akan menerima persembahan yang dipersembahkan oleh jejaka atau orang yang belum mempunyai istri”.
Lukisan sloka-sloka di atas sungguh adalah sebuah pengakuan tentang keutamaan seorang wanita. Peran penting seorang wanita dapat pula menjadi begitu dominan ketika ia berstatus sebagai istri. Kedudukan istri demikian istimewa sehingga dipandang sebagai Ardha Anggani yaitu dunia, kehidupan dan laki-laki tidak akan menjadi seimbang dan sempurna jika tidak didampingi oleh wanita. Ini jelas terlihat dalam Sathapata Brahmana IV.2 sebagai berikut: “ Selama pria itu tidak mempunyai istri, ia tidak akan mendapatkan keturunan, selama itu pula ia tidak sempurna”. Selanjutnya Brahmana I.2, menyatakan; “ Dalam hal peranan istri terhadap kehidupan suami, sang suami merasakan dirinya lebih sempurna sejak ia mendapatkan istri”.
Istri sebagai Jaya yaitu istri bukan saja melahirkan anak tetapi dirinya dan suaminya sendiri merasa dilahirkan kembali. Istri dan suami lahir kembali bersama-sama dengan anak yang terlahir melalui pertemuan sperma (purusa) dan sel telur (Pradhana). Aiteriya Brahmana 33, sangat jelas menyetujui pernyataan ini dengan: “ Ia yang melahirkan menjadi jaya, karena ia melahirkan dirinya kembali”. Hal ini juga dijelaskan dalam Dharmasastra, yaitu: “ Wanita adalah pelanjut keturunan keluarga dan bangsa, benang sutra penyambung peredaran dharma, ibu rumah tangga penyelamat keluarga dan bangsa yang berpegang teguh kepada brata Ibu Pertiwi”.
Lalu istri sebagai Sahadharmini yaitu istri mempunyai kesamaan dalam mengemban tugas dan kewajibannya bersama-sama suaminya, terutama dalam hal kehidupan spiritual. Persatuan ini melahirkan sinergi yang kuat untuk sampai pada tujuan tertinggi dalam pemujaan kepada Brahman, seperti yang dijelaskan dalam Rgveda I.72.5 yaitu; “ Semoga istri dan suaminya, dengan cara-cara kehidupan yang baik oleh keduanya mereka itu merupakan dorongan utama dalam mensukseskan pemujaan terhadap Tuhan, semoga semuanya menjadi satu dalam pemikiran untuk mengalahkan kekuatan-kekuatan negatif dalam kehidupan mereka, dan semoga mereka mendapat sinar suci yang abadi di sorga”.
Selanjutnya istri sebagai Dharmapatni yaitu istri memegang peranan penting dalam melaksanakan aktivitas agama, upacara dan pemujaan kepada Brahman. Wanita sebagai Dharmapatni karena peranannya yang begitu penting dalam mendharmabhaktikan dirinya untuk kehidupan ini. Yajurveda XIX.94, memberi keterangan dengan: “ Patni sukrtam bidharti” : “ Istri melaksanakan upacara-upacara keagamaan”.
Demikian pula dalam kehidupan material seorang wanita memegang peranan yang sangat strategis, dimana wanita adalah manager  utama sebuah rumah tangga. Seorang pria mungkin boleh bangga ketika ia bisa menghasilkan materi (harta kekayaan), tapi tanpa wanita sebagai adminsitratornya atau managernya tentunya materi itu akan habis dengan sia-sia.  Sastra Hindu melukiskan wanita (ibu) adalah Kamadhuk atau dewi Mansyuri, sumber yang memberikan kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemakmuran baik untuk kebahagiaan anak, keluarga, masyarakat  dan bangsa.
Dalam kehidupan kerohanian prinsip kewanitaan dinyatakan sebagai shakti atau ilusi yang dikenakan oleh Brahman pada diriNya sendiri, sebagai energi untuk melengkapi diriNya sendiri, atas kehendakNya sendiri. Inilah maya, wujud feminim. Inilah sebabnya wanita dianggap sebagai perwujudan kekuatan Brahman. Ia adalah pendamping setia bagi pria, peruntunganya. Karena wanita adalah perwujudan kehendak Brahman maka ia adalah misteri, keajaiban, perwujudan dari prinsip yang bersifat melindungi, ratu dalam rumah tangga si pria, sumber keberuntungannya, cahaya yang menerangi rumahnya. Wanita merupakan ajang penyimpanan kekuatan Brahman , karena wanita merupakan mitra dan pembimbing suami, guru paling dini bagi anak-anaknya, dan teladan bagi prilaku masyarakat, contoh bagi kata-katanya dan pengawal dari kesehatan dan kebahagiaan mentalnya. Pria hendaknya menyadari bahwa gelar “Mata” dan prinsip wanita menyatakan segala yang luhur dan kekal, seperti yang dinyatakan dalam bhagavadgita X.34, yaitu;
“ mrtyur sarva harascalam, udbhavasca bhavisyatam, kirtih srir vakca narinam, smrtir medha dhrtih ksama”.
“ Aku adalah pemusnah dan juga pencipta segalanya! Aku adalah tujuh kemampuan wanita; kemakmuran, kekayaan, ucapan, ingatan, kecerdasan, keberanian, dan ketabahan”.
Namun  kalaupun ditemukan ada sloka yang merendahkan wanita seperti dalam Sarasamuccaya, ini tidak lebih sebagai penuntun bagi para calon rohaniawan untuk menghindarkan diri dari kama (birahi) yang tidak terkendali, lain tidak !
Untuk itu Veda memberikan berbagai pandangan kepada para wanita dalam kehidupannya:  “Seorang gadis hendaknya suci, berbudi luhur dan berpengetahuan tinggi”. (Atharvaveda XI.1.27). “Seorang gadis menentukan sendiri pria idaman calon suaminya”. (Rgveda X.27.12),. “Mempelai wanita merupakan sumber kemakmuran”. (Rgveda X.85.36), “Seorang lelaki yang terlalu banyak mempunyai anak selalu menderita”. (Rgveda I.164.32). terjemahan mantra ini menunjukkan bahwa bila lelaki tidak merencanakan keluarganya (istrinya terlalu banyak melahirkan, atau suami banyak punya istri dan anak) tentunya sangat menderita. Pengendalian nafsu seks juga mendapat perhatian dalam kitab suci Veda. Lebih lanjut wanita dituntut untuk percaya kepada suami, dengan kepercayaannya itu (patibrata), seorang istri dan keluarganya akan memperoleh kebahagiaan (Atharvaveda XIV.1.42). Karena wanita sesungguhnya adalah pengawas keluarga, dia cemerlang, dia mengatur yang lain-lain dan dia sendiri yang taat kepada aturan-aturan, dia adalah aset keluarga sekaligus yang menopang kesejahteraan keluarga (Yajurveda XIV.22).
Secara kodrati wanita telah memiliki sifat-sifat keajaiban dan kecemerlangan sebagai potensi dasar yang perlu ditumbuhkembangkan untuk lebih berperan aktif dalam pembangunan. Seorang wanita (ibu) diharapkan mampu memberikan nilai budi luhur atau ajaran agama Hindu kepada putra-putrinya sehingga putra-putrinya tidak terjerumus ke dalam perbuatan Adharma (narkoba dan sex bebas ). Anak lebih dekat kepada ibunya, demikian sebaliknya. Betapa tidak sembilan bulan bayi ada dalam kandungan, setelah di luar disusuinya dengan penuh kasih sayang. Walaupun untuk melahirkan seorang anak rasanya sakit, toh wanita itu senang masuk ke dalam suasana yang menyakitkan. Hanya wanitalah yang dikaruniai buah dada yang besar yang bisa diperuntukkan sebagai penyalur makanan yang bergizi kepada anak. Air susu ibu bukan hanya sekedar makanan yang mengandung gizi tetapi juga sebagai sarana penyalur rasa kasih sayang. Itulah sebabnya bila seorang anak menemui kesulitan atau terancam bahaya, tanpa sadar ia akan menyebut “ aduh ibu” atau “aduh mama”. Disamping kasih sayang kebanyakan para ibu lebih banyak waktunya di rumah ketimbang bapaknya.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas sebenarnya bila kita mengkaji melalui pendekatan historis melalui kitab suci Veda dan susastra Hindu maka kedudukan wanita sangatlah terhormat, sejajar dengan kedudukan laki-laki dan bila mampu mengembangkan potensi dan swadharmanya dengan baik, ia sangat disegani oleh masyarakat.
Terjadinya pelecehan terhadap wanita sebenarnya karena pemahaman yang dangkal terhadap ajaran agama serta didukung pula oleh dampak perkembangan di masa lalu yang didukung oleh masyarakat feodal, adanya nafsu yang telah membuat wanita secara agresif menjadi berani, bersifat petualang dan ingin bebas dari kekangan, sehingga saat ketika nafsu diterima sebgai cap kewanitaan, itu akan menjadi tanda awal berakhirnya sifat kewanitaannya. Melalui pendidikan yang baik, benar dan mantap, khususnya pendidikan budi pekerti dan nilai-nilai kemanusiaan, pada saatnya marginalisasi peranan dan pelecehan wanita tidak akan terjadi lagi.
Terlebih di saat sekarang disadari atau tidak, seorang wanita (ibu) mengemban peran ganda. Di satu pihak wanita Hindu dituntut untuk bisa sejajar degan wanita umat lain lengkap dengan intelektual, karier dan kedudukannya di dalam suatu profesi tertentu, sedangkan di lain pihak wanita Hindu supaya tetap memperlihatkan ciri khasnya sebagai ibu rumah tangga, istri dari suaminya, ibu dari anak-anaknya dan sebagai penyelenggara upacara-upacara keagamaan (sang Yajamana). Bahkan wajah wanita berseri atau muram akan dijadikan tolok ukur atau cermin kehidupan keluarga.
Demikian beberapa kajian Veda yang dapat saya kemukakan sebagai bahan renungan dan kajian holistik bagaimana semestinya kita memandang wanita baik dalam konteks gender, sosiologis dan spiritual, karena sesungguhnya perbedaan itu adalah kebenaran dan keindahan. Martabat keluarga atau kejayaan suatu masyarakat atau bangsa maupun keruntuhannya sangat ditentukan oleh kaum wanitanya. Keruntuhan moral wanita akan membawa keruntuhan keluarga serta arwah nenek moyang akan jatuh ke neraka, semua persembahan yang dipersembahkan tiada berguna. Burung murai dihargai karena dari bunyinya, wanita dipandang tinggi jika dengan keyakinannya yang suci setia kepada suaminya. Oleh karenanya keluarga (orang ) yang ingin sejahtera hendaknya selalu menghormati wanita dan memberikan hadiah pada hari-hari raya.


Wahai wanita Hindu tersenyumlah sehingga dunia ini  berseri dan damai…..!!!

Om Tat Sat




EKSISTENSI DAN KEUTAMAAN WANITA
DALAM VEDA





1 komentar: