Rabu, 29 Agustus 2018


EKSISTENSI DAN KEUTAMAAN WANITA DALAM VEDA*
OLEH: PUTU SUDARMA, S.Ag*


Masyarakat tidak dapat berkembang dengan hanya memberikan pendidikan dan kesempatan kepada kaum pria dan meniadakan kaum wanita. Pria dan wanita dapat dianalogikan bagaikan sepasang sayap burung; jika salah satu sayap burung itu dihilangkan, niscaya burung itu tidak dapat terbang.
Wahai wanita, engkau adalah perintis, cemerlang, mantap, pendukung, yang memberi makan dan yang menjalankan aturan-aturan seperti sang suami. Hamba memiliki engkau di dalam keluarga untuk usia panjang, kecemerlangan, kemakmuran, dan kesuburan pertanian untuk kesejahteraan


Pendahuluan

Dalam Manavadharmasastra III.56, wanita mendapat perhatian yang sangat signifikan, bahkan demikian bermakna sebagai insan suci yang harus dijaga bahkan dihormati, sama dengan kaum pria, terlebih dalam hal peranan luhurnya. Menjadi lebih penting lagi ketika keluhuran dan keutamaan seorang wanita hendak mendapat pengakuan saat harus memainkan peranannya sebagai  insan yang mau tidak mau mesti mendayagunakan segala potensi diri, dengan menahkodai sebuah institusi misalnya. Atau paling tidak dapat menjadi panutan dengan segala kekokohannya yang tidak saja bagi kaumnya sendiri tetapi semua orang (termasuk tentunya kaum laki-laki). Inilah harapan terbesar yang tidak saja diimpikan tetapi harus benar-benar menjadi sebuah kenyataan yang membuka mata, hati dan kuping kita untuk sadar bahwa sesungguhnya Hindu mempunyai semua itu.
Persoalan klise, kalau tidak disebut lagu lama adalah ketika sebagian besar pria dengan segala keperkasaannya sering menganggap bahwa kaum wanita yang dari kodratnya adalah mahluk lemah lembut dan berperasaan halus adalah kaum yang tidak mampu mengemban amanat sebuah tantangan. Hal ini tidak saja mendiskreditkan wanita karena mengeksploitir hanya dari sudut fisiknya (gender), tetapi juga keraguan terhadapnya lebih karena ikatan emosional yang terlalu kuat diyakini akan terbawa ke dalam tantangan-tantangan itu sendiri. Namun sebelum jauh berbicara tentang wanita,  Apa dan siapa sebenarnya wanita itu ?
Kata wanita berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari akar kata kerja “wan = menghormati (kata kerja kelas X Parasmaipada)”. Dari akar kata kerja “wan” kemudian menjadi “wanita” setelah mendapat suffix “hita/ita” yang artinya baik, mulia, sejahtera. Ada beberapa ahli yang mengatakan bahwa wanita berasal dari kata “watina atau batina (betina), dan dalam perkembangan lebih lanjut menjadi wanita (gaya metatisis). Menurut Prof. Moh. Yamin, menyebut istilah lain untuk wanita adalah “perempuan” yang berasal dari kata ‘empu’ atau’pu’ dan suffix ‘an’. Kata perempuan berarti mereka yang utama, dimuliakan atau dihormati. Dalam sastra Hindu istilah ‘empu’ adalah sebagai gelar untuk orang suci Hindu, dan juga gelar yang diberikan kepada mereka yang patut dihormati atau dimuliakan. Demikian juga dengan istilah empu jari yang berarti ibu jari atau jempol.
Dalam konteks Dharma yang berarti guna wanita disebut sebagai “stri”, sehingga muncul istilah Stri Dharma (Dharma seorang wanita). Kata stri terdiri dari tiga suku kata, “SA”, “TA”,”RA”. SA adalah svabhimānam, harga diri; TA adalah thyagam, berkorban; dan RA adalah rasa, rasa manis. Itulah yang menjadi sifat dasar dan alamiah seorang wanita. Di antara ketiga guna itu svabhimānam atau harga diri adalah yang paling penting bagi wanita. Tanpa harga diri, seorang wanita tidak dapat hidup damai dan bahagia. Jika  wanita kehilangan harga diri dan martabatnya, maka wanita akan jatuh ke dalam anggapan dan nilai-nilainya sendiri dan tidak mampu hidup tenang.
Bila berbicara tentang Stri dharma dalam kontek sikap dan prilaku, dharma seorang wanita adalah menjadi anak perempuan yang baik lalu menjadi menantu, istri, dan ibu yang baik. Menurut dharmanya ini, karmanya memerintahkan bahwa wanita mesti belajar dengan baik dan meraih pendidikan yang bagus. Bila menikah  dia mesti melayani sanak saudara suaminya dan suaminya dengan kasih, merawat anak-anaknya dan memperhatikan keperluan-keperluan mereka serta pertumbuhan mereka sebagai mana mestinya.
Dengan perbandingan beberapa istilah tersebut, wanita atau berempuan mempunyai pengertian mereka yang memiliki nilai utama, mulia, suci dan patut dihormati.

Eksistensi Dan Keutamaan Wanita

Pengkajian tentang kedudukan wanita dalam agama Hindu sungguh sangat menarik, karena wanita, perempuan atau stri merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat. Kita sulit membayangkan bila dalam masyarakat tidak terdapat seorang wanita. Manusia yang lahir ke dunia  merdeka dan mempunyai martabat serta hak yang sama di hadapan Brahman, baik pria mapun wanita. Istilah dewa-dewi, putra-putri, lingga-yoni dalam ajaran Hindu menggambarkan bahwa dualisme ini sesungguhnya ada dan saling membutuhkan karena Brahman menciptakan semua mahluk hidup selalu berpasangan. Di dalam kitab suci Veda hubungan antara suami–istri dalam ikatan perkawinan disebut sebagai satu jiwa dari dua badan yang berbeda, sebagai berikut:
“Hendaknya manis bagaikan madu cinta kasih dan pandangan antara suami-istri penuh keindahan. Semogalah senantiasa bahagia tanpa kedengkian (di antara mereka). Semoga satu jiwa bagi keduanya”. Atharvaveda VII.36.1

Terjemahan mantra suci Veda di atas menyatakan bahwa sesungguhnya jiwa manusia adalah sama, kondisi fisiklah yang membedakan. Dalam mengembangkan potensi dan profesi masing-masing, baik pria mapun wanita mendapatkan kesempatan yang sama. Lebih jauh di dalam Manavadharmasastra diuraikan bahwa Brahman menciptakan alam semesta beserta segala isinya dalam wujud “Ardha-nari-isvari” sebagian sebagai pria dan sebagian lagi sebagai wanita:
“ Dengan membagi dirinya menjadi sebagian laki-laki dan sebagian perempuan (ardha-nari-isvari), Ia ciptakan Viraja (alam semesta). Manavadharmasastra I.32.

Dari sloka di atas dapat dipahami bahwa dualisme pria dan wanita tidak dapat dihindari keberadaannya seperti halnya keberadaan siang dan malam yang tak kuasa kita lawan. Yang terpenting adalah bagaimana menjaga hubungan tersebut agar harmonis. Untuk itu ajaran agama Hindu menanamkan kepada manusia Hindu bahwa bagi mereka yang masih kecil harus taat kepada orang tua, yang belum menikah ditekankan mempertahankan kegadisan dan keperjakaannya, dan bagi yang sudah grhastin ditekankan moral kesetiaannya kepada pasangannya.
Wanita Hindu dalam segala aspek baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, atau bangsa memegang peran yang amat penting, disamping peran pokoknya sebagai ibu rumah tangga (dharmapatni) yang berkewajiban mendampingi suaminya, membina dan menyelamatkan rumah tangga. Dalam panggung sejarah agama Hindu dari masa ke masa tidak sedikit kita lihat peran wanita dalam dunia pendidikan, agama, seni dan  udaya, pemimpin dan juga sebagai pejuang langsung di medang perang seperti yang dijelaskan dalam sarvanukramanika, terdapat 20 wanita yang dianggap mempunyai instuisi tajam (Rsi) yang ikut berperan menyusun kitab Ŗgveda.Beberapa yang menonjol adalah Lopamudra,Visvavara, Sikata Nivavari, dan Gosha yang secara berturut-turut adalah penyusun Rgveda I.179, V.28, VIII.91, IX.81.11-20 dan X. 39-40. Mereka itu diyakini adalah wanita yang benar-benar hidup dalam komunitas Hindu. Bahkan Gargi dan Maitreyi juga disebut-sebut pernah dan telah berdialog dengan Ŗşi Yajñavalkya dalam usahanya menemukan kebenaran yang absolut. Kumpulan dialog ini terhimpun dalam Maitri Upanisad. Tokoh –tokoh wanita seperti Sulabha, Maitreyi, Vadava Prathiteyi dan Gargi Vachaknavi sampai saat inipun masih mendapat penghormatan dari para penulis dan sarjana yang berpandangan tajam yang selalu ingat akan kewajibannya untuk berdoa saat Brahmayajna. Ini sesuai dengan keterangan yang terdapat dalam Asvalaya Griya Sutra III4.4.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan berkenaan dengan eksistensi wanita, yaitu bahwa wanita secara fisik apapun alasananya memang lebih lemah dari kaum laki-laki, disamping itu secara kodrati wanita dapat hamil, menyusui dan datang bulan. Kodrat inipun terkadang dilanggar oleh kebanyakan kaum wanita dengan gerakan emansipasi sehingga tidak sesuai dengan jiwa gerakan itu sendiri yaitu menegakkan proporsi wanita sesuai dengan kodratnya. Wanita karier adalah hak asasi sepanjang tidak meninggalkan kodratnya sebagai wanita. Menjadi wanita karier bukan berarti boleh tidak setia dan tidak menghormati suami dan tidak menyusui anak, anggapan ini salah besar. Memang wanita dihadapkan kepada hal yang dilematis karena keadaan fisiknya yang secara kodrati lebih lemah dari laki-laki, di satu sisi ingin eksis bersama kaum laki-laki dan di sisi yang lain dia harus taat kepada kodratnya. Dalam hal ini harus disikapi secara arif dan bijaksana, artinya kasuistis tidak bisa dijadikan ukuran bahwa wanita kedudukannya sebagai second class apalagi out class. Pandangan ini sangat keliru dan bahkan dapat dikategorikan sebagai propokasi kemesraan hubungan laki-laki dan perempuan dengan isue gendernya. Wanita dituntut harus mampu mengkolaborasikan karier atau pekerjaan dengan urusan rumah tangga bila ia telah memilih untuk menjadi wanita karier.
Kewajiban yang berlainan ini diciptakan oleh Brahman agar manusia dapat saling melengkapi dan harmonis. Karena sesungguhnya menurut ajaran agama Hindu wanita memiliki kedudukan yang terhormat sesuai kodratnya seperti diuraikan dalam Manavadharmasastra sebagai berikut:
“ Wanita harus dihormati dan disayangi oleh ayahnya, kakaknya, suami dan ipar-iparnya, jika menghendaki kesejahteraan”.
“ Di mana wanita dihormati di sanalah para dewa merasa senang tetapi di mana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun dalam keluarga itu akan berpahala”.
“ Di mana warga wanitanya hidup dalam kesedihan, keluarga itu cepat akan hancur, tetapi di mana wanita itu tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia”.
“ Rumah di mana wanitanya tidak dihormati sewajarnya, mengucapkan kata-kata kasar, keluarga itu akan hancur seluruhnya seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib”. Manavadharmasastra III.55-58.

Dari terjemahan sloka di atas dapat dipahami, sesungguhnya kedudukan wanita atau perempuan di dalam agama Hindu sangat terhormat, sebab bila tidak ada penghormatan kepada wanita, maka seluruh aktivitas ritual tidak akan bermanfaat. Hingga dewasa ini wanita mendapat kehormatan khususnya dalam berbagai pelaksanaan upacara yajna. Nilai tawar wanita menurut Hindu sebenarnya cukup kompetitif karena secara hakiki Brahman menciptakan dua insan berbeda jenis kelamin ini dalam kapasitas saling membutuhkan dan saling melengkapi. Jadi keunggulan kaum pria ada kalanya tidak ada pada wanita dan sebaliknya, oleh karena itu maka dua insan ini terdorong saling memerlukan dan selalu ingin bersatu agar kekurangan masing-masing menjadi lengkap. Selain posisi terhormat salah satu keunggulan komparatif wanita yang termaktub dalam kita suci Veda yaitu:
“ Orang yang jahat ini memperlakukan kami sebagai wanita yang tidak berdaya, tetapi kami berani dan sebagai ibu dari anak-anak laki-laki yang gagah perkasa, layaknya istri dari dewa Indra dan sahabat para dewa Marut”. Rgveda X.8.9

Dengan merujuk kepada terjemahan mantra Ŗgveda di atas semestinya dua insan ciptaan Brahman yakni pria dan wanita harus menyadari bahwa tidak ada yang harus dipinggirkan sehingga keutuhan, kesempurnaan dengan mudah diwujudkan jika perpaduan keunggulan komparatif masing-masing gender dipadukan secara harmoni. Namun mantra di atas tidak dapat dijadikan sebagai ungkapan emosional aktivis emansipasi wanita agar gregetnya muncul ke permukaan dengan berpedoman pada satu kasus yang terjadi yang belum tentu mewakili untuk digeneralisir bahwa kaum pria memarginalkan wanita. Tampaknya kasus tersebut lebih layak dikatagorikan sebagai kekeliruan prilaku oleh sebagian kaum pria terhadap kaum wanita. Kekeliruan prilaku ini disebabkan oleh multi faktor yakni salah satu faktornya adalah ketidakmampuan yang mengarah pada kesalahan interpretasi dari sebagian kaum pria terhadap paradigma kehidupan kaum pria dengan kaum wanita.
Penghargaan kepada perempuan, wanita istri atau putri sesungguhnya demikian tinggi. Di dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya, dengan demikian maka bila terjadi pelecehan terhadap wanita, sesungguhnya pelakunya yang tidak memahami tentang kedudukan wanita dalam agama Hindu. Kenyataan ini mendapat pembenarandari kitab Bhagavadgītā IX. 32, yaitu:
“ Mam hi partha vyapasritya ye’pi syuh papa-yonayah, striyo vaisyas tatha sudras te’pi yanti param gatim”
Wahai  Partha, mereka yang berlindung kepadaKu, walaupun mungkin berkelahiran rendah, para wanita, Waisya, dan juga Sudra, mereka juga mencapai tujuan tertinggi.

Śloka ini memberi kita kesadaran memandang bahwa setiap orang dapat mencapai tujuan tertinggi, termasuk wanita. Apakah mereka dilahirkan dalam keadaan yang lebih rendah (pāpayonayah), wanita, pedagang maupun buruh, asalkan mereka vyapasritya atau berlindung secara khusus kepada Tuhan.
Gambaran kekokohan,  keutamaan atau keunggulan wanita yang  dikemukakan dalam kitab Veda, antara lain: Dalam Aitareya Brahmana I.2.5  disebutkan: “ Tasmat puruso pittva kstsnataranivatmanam matyate” : “ Seorang suami dikatakan tidak akan mencapai kedudukan sebagai rohaniawan murni kecuali ia  ditemani oleh istrinya sendiri dalam kegiatan kerohanian tersebut”. Hal senada dinyatakan dalam Sathapata Brahmana V.2.1.8 seperti yang dikutip oleh A.S Altekar sebagai berikut: “ Seorang suami tidak bisa masuk sorga seorang diri, dia harus memanggil istrinya untuk menemani dirinya di dalam pendakian simbolik dalam upacara persembahan”. Sedangkan dalam Sathapata Brahmana V.1.6.10, memberi keterangan penting bagi kaum perjaka, yaitu: “ Tuhan tidak akan menerima persembahan yang dipersembahkan oleh jejaka atau orang yang belum mempunyai istri”.
Lukisan sloka-sloka di atas sungguh adalah sebuah pengakuan tentang keutamaan seorang wanita. Peran penting seorang wanita dapat pula menjadi begitu dominan ketika ia berstatus sebagai istri. Kedudukan istri demikian istimewa sehingga dipandang sebagai Ardha Anggani yaitu dunia, kehidupan dan laki-laki tidak akan menjadi seimbang dan sempurna jika tidak didampingi oleh wanita. Ini jelas terlihat dalam Sathapata Brahmana IV.2 sebagai berikut: “ Selama pria itu tidak mempunyai istri, ia tidak akan mendapatkan keturunan, selama itu pula ia tidak sempurna”. Selanjutnya Brahmana I.2, menyatakan; “ Dalam hal peranan istri terhadap kehidupan suami, sang suami merasakan dirinya lebih sempurna sejak ia mendapatkan istri”.
Istri sebagai Jaya yaitu istri bukan saja melahirkan anak tetapi dirinya dan suaminya sendiri merasa dilahirkan kembali. Istri dan suami lahir kembali bersama-sama dengan anak yang terlahir melalui pertemuan sperma (purusa) dan sel telur (Pradhana). Aiteriya Brahmana 33, sangat jelas menyetujui pernyataan ini dengan: “ Ia yang melahirkan menjadi jaya, karena ia melahirkan dirinya kembali”. Hal ini juga dijelaskan dalam Dharmasastra, yaitu: “ Wanita adalah pelanjut keturunan keluarga dan bangsa, benang sutra penyambung peredaran dharma, ibu rumah tangga penyelamat keluarga dan bangsa yang berpegang teguh kepada brata Ibu Pertiwi”.
Lalu istri sebagai Sahadharmini yaitu istri mempunyai kesamaan dalam mengemban tugas dan kewajibannya bersama-sama suaminya, terutama dalam hal kehidupan spiritual. Persatuan ini melahirkan sinergi yang kuat untuk sampai pada tujuan tertinggi dalam pemujaan kepada Brahman, seperti yang dijelaskan dalam Rgveda I.72.5 yaitu; “ Semoga istri dan suaminya, dengan cara-cara kehidupan yang baik oleh keduanya mereka itu merupakan dorongan utama dalam mensukseskan pemujaan terhadap Tuhan, semoga semuanya menjadi satu dalam pemikiran untuk mengalahkan kekuatan-kekuatan negatif dalam kehidupan mereka, dan semoga mereka mendapat sinar suci yang abadi di sorga”.
Selanjutnya istri sebagai Dharmapatni yaitu istri memegang peranan penting dalam melaksanakan aktivitas agama, upacara dan pemujaan kepada Brahman. Wanita sebagai Dharmapatni karena peranannya yang begitu penting dalam mendharmabhaktikan dirinya untuk kehidupan ini. Yajurveda XIX.94, memberi keterangan dengan: “ Patni sukrtam bidharti” : “ Istri melaksanakan upacara-upacara keagamaan”.
Demikian pula dalam kehidupan material seorang wanita memegang peranan yang sangat strategis, dimana wanita adalah manager  utama sebuah rumah tangga. Seorang pria mungkin boleh bangga ketika ia bisa menghasilkan materi (harta kekayaan), tapi tanpa wanita sebagai adminsitratornya atau managernya tentunya materi itu akan habis dengan sia-sia.  Sastra Hindu melukiskan wanita (ibu) adalah Kamadhuk atau dewi Mansyuri, sumber yang memberikan kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemakmuran baik untuk kebahagiaan anak, keluarga, masyarakat  dan bangsa.
Dalam kehidupan kerohanian prinsip kewanitaan dinyatakan sebagai shakti atau ilusi yang dikenakan oleh Brahman pada diriNya sendiri, sebagai energi untuk melengkapi diriNya sendiri, atas kehendakNya sendiri. Inilah maya, wujud feminim. Inilah sebabnya wanita dianggap sebagai perwujudan kekuatan Brahman. Ia adalah pendamping setia bagi pria, peruntunganya. Karena wanita adalah perwujudan kehendak Brahman maka ia adalah misteri, keajaiban, perwujudan dari prinsip yang bersifat melindungi, ratu dalam rumah tangga si pria, sumber keberuntungannya, cahaya yang menerangi rumahnya. Wanita merupakan ajang penyimpanan kekuatan Brahman , karena wanita merupakan mitra dan pembimbing suami, guru paling dini bagi anak-anaknya, dan teladan bagi prilaku masyarakat, contoh bagi kata-katanya dan pengawal dari kesehatan dan kebahagiaan mentalnya. Pria hendaknya menyadari bahwa gelar “Mata” dan prinsip wanita menyatakan segala yang luhur dan kekal, seperti yang dinyatakan dalam bhagavadgita X.34, yaitu;
“ mrtyur sarva harascalam, udbhavasca bhavisyatam, kirtih srir vakca narinam, smrtir medha dhrtih ksama”.
“ Aku adalah pemusnah dan juga pencipta segalanya! Aku adalah tujuh kemampuan wanita; kemakmuran, kekayaan, ucapan, ingatan, kecerdasan, keberanian, dan ketabahan”.
Namun  kalaupun ditemukan ada sloka yang merendahkan wanita seperti dalam Sarasamuccaya, ini tidak lebih sebagai penuntun bagi para calon rohaniawan untuk menghindarkan diri dari kama (birahi) yang tidak terkendali, lain tidak !
Untuk itu Veda memberikan berbagai pandangan kepada para wanita dalam kehidupannya:  “Seorang gadis hendaknya suci, berbudi luhur dan berpengetahuan tinggi”. (Atharvaveda XI.1.27). “Seorang gadis menentukan sendiri pria idaman calon suaminya”. (Rgveda X.27.12),. “Mempelai wanita merupakan sumber kemakmuran”. (Rgveda X.85.36), “Seorang lelaki yang terlalu banyak mempunyai anak selalu menderita”. (Rgveda I.164.32). terjemahan mantra ini menunjukkan bahwa bila lelaki tidak merencanakan keluarganya (istrinya terlalu banyak melahirkan, atau suami banyak punya istri dan anak) tentunya sangat menderita. Pengendalian nafsu seks juga mendapat perhatian dalam kitab suci Veda. Lebih lanjut wanita dituntut untuk percaya kepada suami, dengan kepercayaannya itu (patibrata), seorang istri dan keluarganya akan memperoleh kebahagiaan (Atharvaveda XIV.1.42). Karena wanita sesungguhnya adalah pengawas keluarga, dia cemerlang, dia mengatur yang lain-lain dan dia sendiri yang taat kepada aturan-aturan, dia adalah aset keluarga sekaligus yang menopang kesejahteraan keluarga (Yajurveda XIV.22).
Secara kodrati wanita telah memiliki sifat-sifat keajaiban dan kecemerlangan sebagai potensi dasar yang perlu ditumbuhkembangkan untuk lebih berperan aktif dalam pembangunan. Seorang wanita (ibu) diharapkan mampu memberikan nilai budi luhur atau ajaran agama Hindu kepada putra-putrinya sehingga putra-putrinya tidak terjerumus ke dalam perbuatan Adharma (narkoba dan sex bebas ). Anak lebih dekat kepada ibunya, demikian sebaliknya. Betapa tidak sembilan bulan bayi ada dalam kandungan, setelah di luar disusuinya dengan penuh kasih sayang. Walaupun untuk melahirkan seorang anak rasanya sakit, toh wanita itu senang masuk ke dalam suasana yang menyakitkan. Hanya wanitalah yang dikaruniai buah dada yang besar yang bisa diperuntukkan sebagai penyalur makanan yang bergizi kepada anak. Air susu ibu bukan hanya sekedar makanan yang mengandung gizi tetapi juga sebagai sarana penyalur rasa kasih sayang. Itulah sebabnya bila seorang anak menemui kesulitan atau terancam bahaya, tanpa sadar ia akan menyebut “ aduh ibu” atau “aduh mama”. Disamping kasih sayang kebanyakan para ibu lebih banyak waktunya di rumah ketimbang bapaknya.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas sebenarnya bila kita mengkaji melalui pendekatan historis melalui kitab suci Veda dan susastra Hindu maka kedudukan wanita sangatlah terhormat, sejajar dengan kedudukan laki-laki dan bila mampu mengembangkan potensi dan swadharmanya dengan baik, ia sangat disegani oleh masyarakat.
Terjadinya pelecehan terhadap wanita sebenarnya karena pemahaman yang dangkal terhadap ajaran agama serta didukung pula oleh dampak perkembangan di masa lalu yang didukung oleh masyarakat feodal, adanya nafsu yang telah membuat wanita secara agresif menjadi berani, bersifat petualang dan ingin bebas dari kekangan, sehingga saat ketika nafsu diterima sebgai cap kewanitaan, itu akan menjadi tanda awal berakhirnya sifat kewanitaannya. Melalui pendidikan yang baik, benar dan mantap, khususnya pendidikan budi pekerti dan nilai-nilai kemanusiaan, pada saatnya marginalisasi peranan dan pelecehan wanita tidak akan terjadi lagi.
Terlebih di saat sekarang disadari atau tidak, seorang wanita (ibu) mengemban peran ganda. Di satu pihak wanita Hindu dituntut untuk bisa sejajar degan wanita umat lain lengkap dengan intelektual, karier dan kedudukannya di dalam suatu profesi tertentu, sedangkan di lain pihak wanita Hindu supaya tetap memperlihatkan ciri khasnya sebagai ibu rumah tangga, istri dari suaminya, ibu dari anak-anaknya dan sebagai penyelenggara upacara-upacara keagamaan (sang Yajamana). Bahkan wajah wanita berseri atau muram akan dijadikan tolok ukur atau cermin kehidupan keluarga.
Demikian beberapa kajian Veda yang dapat saya kemukakan sebagai bahan renungan dan kajian holistik bagaimana semestinya kita memandang wanita baik dalam konteks gender, sosiologis dan spiritual, karena sesungguhnya perbedaan itu adalah kebenaran dan keindahan. Martabat keluarga atau kejayaan suatu masyarakat atau bangsa maupun keruntuhannya sangat ditentukan oleh kaum wanitanya. Keruntuhan moral wanita akan membawa keruntuhan keluarga serta arwah nenek moyang akan jatuh ke neraka, semua persembahan yang dipersembahkan tiada berguna. Burung murai dihargai karena dari bunyinya, wanita dipandang tinggi jika dengan keyakinannya yang suci setia kepada suaminya. Oleh karenanya keluarga (orang ) yang ingin sejahtera hendaknya selalu menghormati wanita dan memberikan hadiah pada hari-hari raya.


Wahai wanita Hindu tersenyumlah sehingga dunia ini  berseri dan damai…..!!!

Om Tat Sat




EKSISTENSI DAN KEUTAMAAN WANITA
DALAM VEDA







Etika / Sesane Pinandita


I.  Pendahuluan

Pada dasarnya kehidupan manusia sekarang ini sangat dipengaruhi oleh watak (bakat) dari kehidupan pribadi pada masa yang lalu (karma vasana), namun seiring perkembangan usia dan pola pergaulan di tengah masyarakat serta tingkat pendidikan yang diperolehnya telah menyebabkan lahirnya manusia yang memiliki kualitas yang berbeda. Maka jika kita renungkan dan meneliti sejenak kehidupan manusia di sekitar kita, kita akan dapat menemukan orang per orang yang aktivitas kerjanya berbeda-beda. Ada yang tekun menjadi petani dengan cara mengolah sawah dan ladang untuk ditanami berbagai macam tanaman yang pada waktunya nanti dapat dipanen sebagai bahan pangan dan selebihnya dapat dijual untuk ditukar dengan kebutuhan yang lain. Ada pula yang giat dan ahli memutar roda perekonomian dengan jalan perdagangan dan mengatur managemen kerja yang baik, sehingga dapat menjadi pengusaha yang sukses. Disamping itu ada juga yang memiliki bakat menjadi seorang pemimpin pemerintahan dan kemiliteran (keprajuritan) sebagai benteng negara dan bangsa. Namun demikian, dari sekian banyak aktivitas tersebut ada pula yang menekuni bidang agama, kerohanian (spiritual). Varnāsrama tersebut bersumber dari Veda, sehingga semua bentuk sadhana (disiplin hidup) semestinya disesuaikan dengan guna, dharma dan karma masing-masing.
Dan sesungguhnya semua profesi tersebut  di atas tidak dapat berdiri sendiri-sendiri, semua terikat dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya, ibarat anggota badan kita ini; organ yang satu bergantung kepada organ yang lain. Betapapun cemerlangnya pikiran yang ada dalam otak bila tidak ada tangan, perut, dan kaki maka hidup ini tiadalah berarti apa apa.
Apapun dharma kita pada kehidupan ini sesunggunya adalah untuk melayani agar dapat menuju kepada Sang Asal (Brahman). Demikian pula dharma sebagai rohaniawan Hindu seperti: Pinandita, Pemangku, Wasi, Dukun (eka jati), adalah merupakan profesi pelayanan dan pengabdian (Senvanam dan Dasyanam) yang utama  kepada Braman.

II.  Pengertian Diksa
Mengingat perkembangan agama Hindu di indonesia dewasa ini semakin pesat dan kompleks, serta banyaknya hal yang perlu mendapat penanganan dari pemuka agama/rohaniawan, sebagai tenaga-tenaga ahli yang membidangi baik itu menyangkut upacara maupun upakaranya. Bila hal ini bisa dipenuhi maka jelas tidak akan terjadi kesimpang siuran didalam memberikan tuntunan kehidupan spiritual umat, terutama dalam pelaksanaan upacara keagamaan.
Didalam memenuhi permasalahan yang kompleks ini, diperlukan penobatan rohaniawan/pandita dan pinandita. Dalam agama Hindu disebutkan bahwa untuk mencapai tingkat atau status pandita/pinandita, seseorang harus menempuh upacara ritual yang sangat formal. Upacara ritual ini disebut ”DIKSA”. Tanpa upacara Diksa, seseorang betapapun pandainya belum dapat disebut pandita/pinandita. Dasar hukumnya dapat kita jumpai dalam kitab suci Veda, yakni dalam Atharvaveda XI.I.I. yang menyebutkan :
”Satyam Brhad Rtam Ugram Diksa Tapo Brahman Yajña Prithiwim Darayanti”.
Artinya :
Sesungguhnya satya Rta Diksa Tapa Brahman dan Yajña, yang menyangga dunia  ini. (Dana1996:2)

Mantra ini menjelaskan mengenai dasar-dasar keyakinan agama Hindu yang harus dipegang dan dikembangkan sebaik-baiknya, salah satu diantaranya adalah Diksa.
Kata Diksa berasal dari bahasa sansekerta yang artinya suatu upacara penerimaan menjadi murid dalam hal kesucian. Dari kata diksa ini munculah kata diksita yang artinya diterima menjadi murid dalam kesucian. Dalam perkembangannya lebih lanjut, kata diksa berarti askara yaitu suatu upacara penyucian diri untuk mencapai tingkatan dwijati. Kata dwijati berasal dari akar kata ”ja” yang artinya lahir. Dwijati artinya lahir kedua kalinya. Lahir yang pertama adalah dari kandungan ibu dan lahir yang kedua dari dang guru suci atau nabe. Dalam kitab Siwa Sasana disebutkan bahwa ”sejak seseorang mendapat  diksa atau upacara penyucian, mereka dikenal sebagai Dwijati dan dari padanya diharapkan mulai mematuhi segala peraturan kebrahmanaan”. Rohaniawan/pandita dan pinandita yang melalui proses tata upacara diksa inilah yang mempunyai wewenang luas dan lengkap dalam pelaksanaan ”Loka Pala Sraya” itu yakni wewenang didalam memimpin atau menyelesaikan berbagai yajña termasuk dalam memberikan Air Suci (Tirtha).
Landasan sastra yang termuat dalam beberapa pustaka rontal yang sementara ini diketemukan di Bali. Rontar-rontal itu digunakan sebagai acuan sehingga pengungkapannya mempunyai suatu landasan yang dapat dijadikan pegangan. Mungkin masih banyak  pustaka rontal lainnya yang memuat tentang upacara mediksa dan atau menggunakan kawikon, namun kesulitan mengumpulkannya sangat terasa, mengingat rontal-rontal tersebut tersebar luas dan bahkan tidak jarang menjadi koleksi-koleksi perorangan disamping adanya koleksi resmi seperti pada gedong kirtya di Singaraja (sekarang menjadi museum cabang pusat Dokumentasi Bali di Denpasar), Musium Bali di Denpasar, Fakultas Sastra Universitas Udayana, institut Hindu Dharma (Universitas Hindu Indonesia UNHI) dan lain sebagainya.
Adapun beberapa pustaka rontal yang memuat tentang upacara diksa dan kawikon antara lain adalah: Krama Mediksa, Kramananing Dadi Wiku, Silakrama, Siwa Sasana, Wertisasana, Widhipapincatan, dan lain sebagainya. Selain itu juga menggunakan acuan ketetapan Maha Shaba Parisada Hindu Dharma Indonesia II Tahun 1968 dan keputusan seminar kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu yang ke 14 Tahun 1986/1987 tanggal 11 s/d 12 Maret 1987 tentang Pedoman pelaksanaan Diksa.
Upacara mediksa mempunyai tujuan mulia yaitu meningkatkan kesucian diri guna mencapai kesempurnaan menjadi manusia. Mediksa merupakan klimaks dalam meningkatkan kesucian diri dari tingkatan Ekajati ke tingkatan Dwijati. Mencapai suatu kesucian diri adalah merupakan suatu kewajiban bagi umat Hindu, karena lewat kesucian diri itulah manusia dapat berhubungan dengan sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa. Untuk dapat menjaga kesucian dirinya, seseorang yang telah melaksanakan upacara mediksa, berkewajiban agar setiap hari menyucikan diri dengan melakukan puja Parikrama atau Surya Sewana. Mengenai waktunya adalah: pagi, siang, dan sore hari. Maka dari itulah sang diksita atau wiku tidak kena cuntaka dan juga tidak nyuntakain (kecuali wiku wanita yang sedang dalam keadaan Haid ).
Demikian masalah kesucian itu yang menjadi tujuan mediksa, yang mempunyai arti penting dalam ajaran agama Hindu dalam ajaran agama Hindu dan menjadi orientasi dan arahan bagi umat Hindu dalam menempuh kehidupan sekala dan niskala.

III.  Pengertian Pinandita
Dalam agama Hindu, ada penyebutan istilah tentang pandita dan pinandita. Kata pandita berasal dari akar kata ”pand”, yang artinya mengetahui. Penyebutan istilah pandita ini, diberikan kepada seseorang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai ilmu pengetahuan suci Veda serta memiliki sifat yang arif dan bijaksana. Dan untuk mendapatkan tingkat atau status pandita ini, seseorang harus pula melakukan upacara penobatan yang disebut ”Diksa”. Dari kata pandita inilah kemudian timbul sebutan untuk pendeta.
Sedangkan kata pinandita, dasar katanya adalah pandita mendapat sisipan ”in”, yang artinya Di. Jadi pengertian pinandita disini ialah seseorang yang dianggap sebagai wakil pandita. Guna mencapai tingkatan atau status pinandita ini pun melalui upacara/upakara diksa yang dikenal dengan sebutan ”pawintenan”. Di dalam beberapa lontar dan juga keputusan dari jawatan agama Propinsi Bali No. 85/Dh.B/SK/U-15/1970 tanggal 20 April 1970 serta keputusan seminar aspek-aspek Agama Hindu d iAmlapura Bali menyebutkan bahwa ada beberapa tingkatan pewintenan, antara lain :
a. Pewintenan Saraswati (Mulai Mempelajari Agama)
b. Pewintenan Bunga (Pewintenan setelah berumah tangga)
c. Pewintenan Sari (Mulai mempelajari kitab Suci Veda atau cakepan Lontar)
d. Pewintenan Gede (Menjadi pemangku atau Jro Mangku yang lazim disebut Pinandita).
Untuk mengetahui arti dan makna pewintenan atau mawinten dalam konteks hubungan dengan kesucian diri, maka upacara ini dapat kita bedakan menjadi: pawintenan yang berkaitan dengan Manusa Yajña dan pawintenan yang berkaitan dengan Rsi Yajña. Pawintenan yang berkaitan dengan Manusa Yajña adalah Pawintenan Saraswati an Pawintenan Bunga, sedangkan yang berkaitan dengan Rsi Yajña adalah Pawintenan Sari dan Pawintenan Gede atau Pinandita.
Sedangkan kata pawintenan itu sendiri berasal dari kata winten, yang dapat diartikan dengan inten (berlian), permata bercahaya. Pawintenan atau mawinten mengandung arti melaksanakan suatu upacara untuk mendapatkan sinar (cahaya) terang dari Sang Hyang Widhi Wasa, supaya dapat mengerti, mengetahui, serta menghayati ajaran pustaka suci Veda tanpa aral melintang. Makna dari pawintenan di sini tidak lain mohon waranugraha Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabawanya sebagai Sanghyang Guru, yang memberi tuntunan, Sanghyang Gana memberikan perlindungan dan membebaskan segala bentuk rintangan, dan Sanghyang Saraswati sebagai pemberi anugerah ilmu pengetahuan suci Veda. D idalam kelengkapan upacara/upakaranya pawintenan Gede atau pawintenan Pinandita ini lebih lengkap rerajahan atau tulisan-tulisan aksara sucinya, dibandingkan dengan pawintenan Saraswati, Bunga, dan Sari.
Adapun yang termasuk dalam tingkatan atau status pinandita antara lain :
a. Pemangku.
b. Wasi.
c. Mangku Balian/Dukun
d. Mangku Dalang
e. Dharma Acarya.
f. Pangemban/Pendidik tentang kerohanian.
Sedangkan penggolongan Pemangku/Pinandita menurut swadharmanya dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pemangku pura Kahyangan Jagat, Sad kahyangan, Kahyangan Tiga.
2. Pemangku Pamongmong (pembantu di bidang protokoler)
3. Pemangku Jan Banggul (pembantu di bidang pelayanan ketika ada upacara di pura)
4. Pemangku Cungkub (di Merajan Gede yang jumlah pelinggihnya di atas 10 buah)
5. Pemangku Nilartha (di pura Kawitan0
6. Pemangku Pinandita (pemangku pembantu pandita yang berwenang ngeloka phala sraya dalam batas-batas tertentu atas tuntunan dan penugrahan pandita0
7. Pemangku Bujangga (di Pura Paibon)
8. Pemangku Balian (mengobati orang sakit)
9. Pemangku Dalang (sebagai dalang yang mampu Nyapuh Leger)
10. Pemangku Lancuban (yang bisa kerawuhan/kodal untuk metuwun)
11. Pemangku Tukang ( yang paham ajaran Wiswakarma: Undagi, Sangging, tukang wadah, tukang banten, dll)
12. Pemangku Kortenu ( yang bertugas di Prajapati/Ulun Setra)
13.

IV.  Sasana Pinandita
Kehidupan sebagai pinandita memiliki ciri khusus yang mengikat, disebut dengan sasana yang menjadi kode etik yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Adapun yang dimaksud dengan sasana yang menjadi kode etik pinandita adalah segala aturan-aturan atau tata tertib yang berhubungan dengan ”Kawikon” (aturan-aturan kehidupan yang patut dilaksanakan oleh seorang pinandita).
Dalam Agama Hindu sasana atau kode etik yang mengikat ini mendapat tempat yang paling utama, karena didalamnya terermin nilai-nilai etika keagamaan, yang selalu dipatuhi. Bagi mereka yang mendalami hidup sebagai pinandita, harus menghayati seluruh aturan-aturan yang mengikat, baik itu melalui sikap prilaku, maupun kemampuan sikap spiritualitas yang dimiliki sebagai Pinandita. Dengan mengetahui sasana atau kode etik ini, seorang pinandita akan menghindari pelanggaran terhadap sasana atau aturan-aturan kepinanditaan.
Dalam kitab Silakrama ditekankan bahwa para pandita/pinandita hendaknya dapat menguasai dan melaksanakan ajaran Panca Yama dan Niyama Brata.
a. Panca Yama Brata
Jenjang pertama bagi Astangga Yoga adalah Yama. Yama artinya pengendalian diri tahap pertama. Yama ini terdiri dari lima bagian, sehingga disebut Panca Yama, yakni terdiri dari :
1. Ahimsa
Ahimsa artinya tidak membunuh atau tidak menyakiti, ini menunjukan bahwa seseorang yang baru memasuki kehidupan rohani, hendaknya bebas dari segala perbuatan yang menyakiti sesama mahluk. Ahimsa ini merupakan ajaran pengendalian yang sangat mendasar sifatnya. Maksudnya bahwa, jika seseorang belum mampu mengendalikan dirinya dalam hal menyakiti dan membunuh, maka sulitlah baginya akan bisa naik ke jenjang yang lebih tinggi. Ahimsa pada prinsipnya bertujuan untuk memanusiakan manusia. Artinya seseorang hendaknya dapat menumbuhkan atau menyuburkan sifat-sifat yang dianggap sebagai sifat-sifat di luar kemanusiaan karena tidak menyakiti adalh kebenaran yang tertinggi (Ahimsaya paro dharma). Melalui ajaran Ahimsa ini  kita dapat menumbuhkan atau menyuburkan sifat-sifat lemah lembut, cinta kasih, persaudaraan, dan lain sebagainya yang sesungguhnya sifat asli dari manusia. Lawan dari Ahimsa adalah Himsa Karma yaitu perbuatan atau membunuh dan menyakiti sesama mahluk yang merupakan perbuatan dosa.
2. Brahmacari
Bagi seseorang yang hendak mengabdikan dirinya dalam hidup kebenaran dan kesucian diri, suci pikiran, kata-kata dan perbuatan, maka ia harus hidup sebagai seorang Brahmacari. Demikian yang disebutkan dalam ajaran yoga. Hal ini ditujukan kepada rohaniawan (pandita/pinandita), yang dengan sepenuhnya mengikhlaskan hidupnya dengan mengabdi kepada Tuhan. Di dalam melaksanakan ajaran yoga ini, seseorang memerlukan tenaga yang tersimpan dalam dirinya sendiri. Ada dua aspek kekuatan yang tersimpan dalam tenaga yakni aspek yang tidak halus dan yang halus. Aspek yang tidak halus adalah tenaga asmara yang selalu menampakan dirinya melalui indrya, sedangkan aspek yang halus adalah tenaga yang halus yang cenderung mengantarkan manusia pada kesadaran. Seorang pandita/pinandita dapat mengubah tenaga asmara menjadi ”Ojas Sakti”, tenaga yang bercahaya terang yang mengantarkannya ke dalam samadhi yang dalam. Ini merupakan pengendalian diri yang luar biasa, di luar alam manusia biasa.
3. Sathya
Sathya artinya kebenaran dan kejujuran. Kejujuran adalah sifat yang selalu dituntut oleh orang yang berbudhi baik, karena sifat ini akan membawa manusia pada ketenangan. Bila seseorang hendak mewujudkan sifat-sifat kedewataan dalam dirinya, maka Sathya mutlak harus dilaksanakan dengan sungguh, karena sesungguhnya Tuhan adalah kebenaran, maka ia akan dijumpai melalui kebenaran itu pula. Jika diamati dengan seksama, maka hati manusia pada dasarnya adalah senantiasa benar dan jujur, sehingga ia mencintai kebenaran dan kejujuran itu sendiri. Akan tetapi akibat pengaruh rajas dan tamas dalamTri Guna dan juga pengaruh indrya, maka hati nurani yang dasarnya suci, benar dan jujur menjadi tenggelam dalam ketidakbenaran dan ketidakjujuran sehingga menjadi kotor. Jika seseorang dapat mengikuti dan mematuhi hati nuraninya dalam bertindak maka benar dan jujurlah segala perbuatannya. Untuk itu diperlukan adanya keberanian dan jiwa besar yaitu keberanian dalam memegang teguh nilai kebenaran itu sendiri. Kebenaran tertinggi adalah Tuhan, maka untuk mencapainya haruslah dengan kebenaran pula.
4. Awyawaharika.
Awyawaharika atau Awyawahara berarti tidak berselisih, tidak berjual beli dan tidak berbuat dosa karena kepintaran. Orang patut menghindari diri dari perselisihan atau pertengkaran karena dapat mengotori pikiran dan mengganggu ketenangan jiwa. Awyawaharika juga berarti tidak berjual beli. Hal ini ditujukan terutama kepada pandita/pinandita. Oleh karena dalam berjual beli berlaku prinsip-prinsip ekonomi yang kadang kala tidak cocok dengan prinsip hidup kerohanian. Awyawaharika arti lainnya juga adalah tidak berbuat dosa karena kepintaran. Kepintaran yang digunakan untuk tujuan-tujuan rendah, seperti memeras yang lemah, memperdaya orang yang bodoh adalah dosa. Jadi awyawaharika atau awyawahara adalah untuk mengantarkan seseorang tidak saling bermusuhan, tidak suka menipu, dan tidak berbuat dosa, agar selalu memperoleh kesucian dan kebenaran.
5. Astainya
Astainya atau Asteya artinya tidak mencuri. Mencuri adalah mengambil milik orang lain tanpa persetujuan yang bersangkutan. Perbuatan ini adalah perbuatan mementingkan diri sendiri tanpa memandang betapa sakit dan sengsaranya hati orang yang miliknya diambil oleh orang lain. Maka dari itu, orang harus dapat mengendalikan diri dari keinginan yang berlebihan akan sesuatu, karena keinginan demikianlah yang mendorong seseorang untuk mencuri. Dengan demikian kenikmatan indrya harus selalu berlaku atas pengawasan pikiran yang jernih, sehingga kenikmatan itu tidak didapat atas dasar mencuri atau perbuatan semacam itu. Mencuri tidak akan mengantar orang dalam ketenangan hidup sehingga kesucian menjauh daripadanya.

b. Panca Niyama Brata.
Niyama adalah ajaran pengendalian diri tahap kedua. Seperti halnya Yama, Niyama inipun juga terdiri dari lima bagian karena itu disebut Panca Niyama Brata. Rinciannya adalah sebagai berikut :
1. Akrodha
Akroda artinya tidak suka marah. Kebanyakan orang pasti pernah marah, bahkan sering marah. Ada banyak hal yang dapat menyebabkan orang marak. Hal-hal itu antara lain : karena merasa harga dirinya diinjak-injak, dihina, karena tersinggung, karena dimarahi, karena difitnah, ditipu, dibohongi, merasa diperlakukan tidak adil, dan lain sebagainya. Dapat pula orang marah karena keinginan yang tidak dipenuhi. Dalam hal ini orang sering menginginkan agar orang lain mau seperti yang ia inginkan. Jika tidak maka marahlah ia, dengan tidak menyadari bahwa orang lain bukanlah dirinya. Selain itu dapat pula orang marah karena penyakit tertentu. Yang jelas, apapun alasannya marah itu tetap tidak baik. Orang yang suka marah-marah, bukanlah orang yang gagah dan kuat, tapi sebaliknya ia sungguh-sungguh bodoh dan lemah. Karena orang yang demikian halnya berarti belum mampu menundukkan musuh dalam dirinya. Krodha lawan dari akrodha itu adalah salah satu musuh dalam diri manusia yang patut selalu diwaspadai dan ditaklukan. Kemarahan sering juga disusul dengan kebencian dan dendam. Patut diingat bahwa kebencian dan dendam itu adalah racun bathin yang sangat berbahaya dan dapat menghancurkan kehidupan spiritual seseorang. Kebencian tidak akan pernah ada akhirnya  jika sama-sama dihadapi dengan membenci. Ia hanya dapat ditaklukan dengan cinta kasih. Cinta kasih ini akan menumbuhkan kesabaran yang tinggi. Kesabaran ini memang pahit rasanya, namun buahnya manis, orang sabar dikasihi Tuhan. Sedang orang pemarah dikasihi setan. Pengetahuan, kebijaksanaan serta pengalaman hidup itu merupakan senjata yang dapat diandalkan untuk menaklukan kemarahan. Melalui akrodha dapat memberikan kemuliaan hidup kepada seseorang.
2. Guru Susrusa
Gurususrusa berarti bhakti berguru. Ada tiga jenis guru yang harus dibhakti atau dihormati. Pertama, orang harus berbhakti kepada guru rupaka, yaitu orang tua, ibu dan ayah. Orang hendaknya sadar betapa besar pengorbanan dan kasih sayang orang tua yang telah dicurahkan pada anaknya untuk memelihara dan mendidiknya. Orang yang durhaka terhadap orang tuanya tidak akan selamat hidupnya di dunia maupun akhirat kelak. Kedua, orang harus bhakti terhadap guru pengajian, yaitu orang yang mengajarkan bebagai ilmu pengetahuan dan mendidiknya, sehingga menjadi manusia yang berguna. Seseorang yang tidak berbhakti terhadap guru pengajiannya tidak akan berhasil menuntut ilmu pengetahuan dengan sempurna. Ketiga, orang harus bhakti  kepada guru wisesa, yaitu pemerintah, karena pemerintah selalu memberikan pengayoman dan mengatur hidup bermasyarakat dan bernegara sehingga tertib dan damai. Demikianlah orang harus berbhakti terhadap ketiga jenis guru tersebut ( disebut Tri Guru). Selain orang harus berbhakti terhadap tri guru tersebut,  hendaknya pula berbhakti terhadap guru sejati yaitu Sanghyang Paramesti Guru. Tuhan Yang Maha Kuasa, karena dari Beliaulah sumber segalanya ini. Jadi guru susrusa disini menuntun orang kepada kesucian hati dan kearifan.
3. Sauca
Sauca berarti kesucian lahir batin. Ini berarti badan harus bersih dan kebersihan badan akan mempengaruhi kebersihan jiwa. Dengan demikian maka badan harus dihindari dari sesuatu yang sekiranya akan dapat mencemarinya, seperti makanan, minuman, pakaian, barang-barang kimia, dan lainnya. Seringkali bila badan tersentuh nikmat benda akan meninggalkan kesan mendalam dalam pikiran dan bila berjumpa dengan sumber nikmat itu, akan timbul pula guncangan pikiran untuk ingin menikmati lagi. Ternyata bila dibiarkan pikiran itu akan manja dan badan akan dikoyak-koyaknya sampai dalam kelelahan. Karena itu pikiran harus juga suci dan kesucian pikiran akan mempengaruhi kesucian batin.
4. Aharalaghawa
Aharalaghawa artinya makan sepatutnya, sesuai dengan kebutuhan tubuh. Badan atau tubuh ini tidak akan ada jika tanpa makan atau minum. Karena tanpa itu manusia tidak akan bisa hidup bersama tubuhnya. Walaupun demikian, tidaklah berarti bahwa hidup ini untuk makan semata, tapi sebaliknya makan itu untuk menunjang kehidupan. Dalam hal makan, orang harus tau aturan makan, orang harus tau memilih makanan yang diperlukan tubuh, baik sebagai sumber tenaga juga sebagai sumber pembangunan organ tubuh yang rusak. Perlu diingat bahwa setiap makanan baik dan berguna bagi tubuh. Adakalanya makanan itu menjadi sumber penyakit tertentu. Untuk itu diperlukan memilih makanan yang sehat. Orang harus tau ukuran makanan yang akan dimakan agar tidak berlebihan dalam mengkonsumsi makanan sehingga tidak menjadi sia-sia. Dalam hal makan, hendaknya orang tidak saja memperhatikan selera kenikmatan lidah semata, yang terpenting adalah kandungan gizi makanan tersebut. Dalam hal ini seseorang harus dapat mengendalikan Jihwendriyanya, yaitu indrya pada lidah. Jadi pada prinsipnya Aharalaghawa mengajarkan agar makan yang menyehatkan dan mengembangkan pola hidup sederhana untuk mencapai ketenangan dan kesucian hidup lahir batin.
5. Apramada
Apramada artinya tidak lalai. Kelalaian akan mngakibatkan dosa, malapetaka dan kehancuran. Kelalaian berarti tiada kesadaran. Meredupnya pancaran kesadaran berarti menebalnya kabut kegelapan yang menyelimuti sang jiwatma/kesadaran, yang selanjutnya membawa seseorang pada dosa. Kelalaian juga dapat menyebabkan malapetaka dan kehancuran. Orang sering lalai pada masalah-masalah yang tampaknya kecil namun bisa membawa resiko yang sangat besar. Ingatlah seperti virus, baksil dan bibit penyakit lainnya, yang tidak terlihat oleh mata telanjang, namun dapat membunuh berjuta umat manusia didunia. Demikianlah hendaknya agar seseorang senantiasa selalu waspada dan berhati-hati baik dalam berpikir. Berkata dan perbuatan, baik terhadap yang kecil maupun hal yang besar resikonya. Ketidaklalaian atau apramada ini menjaga dan mengawasi seseorang agar selamat dalam hidupnya untuk menuju pada alam kesadaran. Karena ketidak lalaian berarti senantiasa menjaga kesadaran itu sendiri.
Adapun sasana atau aturan-aturan yang dijelaskan dalam kitab Silakrama ini, memberikan suatu arahan dan tujuan agar seseorang pinandita hendaknya mampu memelihara kesucian didalam dirinya dalam mengemban tugas/misi suci Tuhan. Baik itu yang bersifat lahiriah yang dituangkan dalam ajaran yama brata, maupun yang bersifat batiniah yang dituangkan dalam ajaran Niyama Brata. Ajaran yama dan Niyama brata meletakkan dasar kode etik atau sasana, pada sistem disiplin diri. Apabila setiap individu telah tertanam disiplin pribadi yang kokoh, dengan sendirinya apa yang menjadi tujuan seseorang dalam menempuh kehidupan rohani akan terwujud kesuciannya.
Untuk melengkapi sasana pinandita ini,  tidak ada salahnya bila disampaikan ajaran tentang Rwawelas Brataning Brahmana, yakni suatu ajaran yang berisikan duabelas macam syarat atau aturan hidup lahir dan bathin bagi para brahmana. Adapun keduabelas macam syarat atau aturan hidup ini, dimuat dalam kitab Sarasamuccaya sloka 57, yang menyebutkan sebagai berikut :
”Dharmacca satyam ca tapo damacca vimatsaritvam
 Hristitiksanasuya, yajñacca danam ca dhritih ksama
 Ca mahavratani dvadaca vai brahmanasya”.
Artinya :
Ini adalah brata sang Brahmana, duabelas banyaknya, Perincianya : Dharma, satya, tapa, dama,wimarsaritwa,hrih, titiksa, anusuya, yajña, dana, dhrti, ksama, itulah perinciannya sebanyak duabelas : dharma dari satyalah sumbernya, tapa artinya sarira sang sesana yaitu dapat mengendalikan jasmani dan mengurangi nafsu : dama artinya tenang dan sabar, tahu menasehati dirinya sendiri. Wimatsaritwa artinya tidak dengki-irihati, hrih berarti malu, mempunyai rasa malu, titiksa artinya jangan sangat gusar, anasuya artinya tidak berbuat dosa, yajña adalah mempunyai kemauan mengadakan pemujaan; dana adalah memberikan sedekah, dhrti artinya penenangan dan pensucian pikiran, ksama artinya tahan sabar dan suka mengampuni ; itulah brata sang brahmana.

Demikian yang disebutkan dalam kitab Smrti Sarasamuccaya mengenai Rwawelas Brataning Brahmana, yang juga merupakan ketentuan/ syarat yang perlu dimiliki oleh para brahmana atau dalam hal ini oleh para sulinggih, termasuk didalamnya para pinandita.
V.  Kewajiban dan Wewenang Pinandita
Di dalam konteks melaksanakan dharma negara dan dharma agama, para pinandita mengemban tugas dan misi suci Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa). Yang sangat mulia. Ada dua hal pokok yang menjadi tugas dan kewajiban pinandita yairu :
a. Tugas seorang pinandita adalah berbuat sesuatu untuk menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup bersama di masyarakat yang disebut jagaditha, dengan cara memberikan tuntunan rohani, pembinaan mental spiritual serta membantu kehidupan beragama dilingkungan masyarakat. Disinilah sesungguhnya arti penting daripada loka phala sraya yaitu menjadi sandaran umat dalam mewujudkan suatu kehidupan yang aman, sentosa dan sejahtera yang disebut dengan kasukerthan jagat. Disamping berbuat sesuatu untuk menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup umat, juga memohon keselamatan negara atau yang disebut dengan ngayasang jagat, dengan cara melakukan pemujaan setiap hari kepada Sang Hyan Widhi Wasa, sebagaimana yang dilaksanakan dalam surya sewana, yang memiliki dua sasaran dan tujuan. Pertama, menyucikan diri lahir batin dan kedua memohon keselamatan negara (ngayasang Jagat). Jadi di dalam pelaksanaan surya sewana seorang pandita, memohon ke hadapan Sanghyang Whidi Wasa, agar beliau Asung kertha nugraha baik kepada umat maupun negara tercinta, sehingga memperoleh apa yang disebut suka sadya lan rahayu.
b. Kewajiban pinandita sebagai sulinggih ada sepuluh jumlahnya, yang disebut dengan Dasakramaparamartha, yakni :
1. Tapa.
Teguh dan kuat pendirian dalam memuja Sang Hyang Widhi (Dewaarcana) dan melaksanakan dharmaning kawikon serta mengucapkan puja, japa, mantra dan Veda setiap hari.
2. Brata.
Melaksanakan disiplin bathin, mengurangi makan (aharalagawa) dan mengurangi tidur, tidak melanggar pantangan, meninggalkan pengaruh panca indrya serta taat melaksanakan yama-niyama Brata.
3. Yoga
Melatih pernafasan (pranayama), guna menyeimbangkan stula sarira dengan suksama sarira sebagai sarana untuk menghubungkan diri dengan Sanghyang Widhi Wasa, dan melebur dasamala pada diri.
4. Samadhi
Memusatkan pikiran ditujukan kehadapan Sanghyang Widhi Wasa, sehingga tidak terpengaruh suatu kondisi luar (nirwikara).
5. Santa
berpikir cemerlang dan berpenampilan yang tenang.
6. Sanmata
berperasaan yang riang dan gembira meskipun dalam menghadapi cobaan-cobaan hidup.
7. Maitri
senang mengatakan yang baik dan benar serta berprilaku yang baik dan santun.
8. Karuna
senang bertukar pikiran dengan sesama. Baik dengan hal yang bersifat wahya, maupun dengan hal-hal yang bersifat adhyatmika dan mengasihi sarwa tumuwuh atau semua mahluk.
9. Upeksa
tahu tentang perbuatan baik dan buruk, perbuatan benar dan salah serta suka memberi petunjuk kepada orang yang belum memahami arti baik atau buruk.
10. Mudhita
mencintai kebenaran dan memiliki budi pekerti yang luhurcemerlang dalam kehidupan.
Disamping itu seoarang pinandita/pemangku mempunyai tugas dan kewajiban untuk: mengantarkan upacara yang diselenggarakan di pura/merajannya, menuntun warganya dalam pendalaman Dharma, dan menjaga kebersihan dan kesucian pura/merajan.
Demikian diungkapkan di sini mengenai tugas dan kewajiban pinandita, yang patut ditekuni di dalam melaksanakan dharmanya sebagai sulinggih.

VI.  Wewenang Pinandita
Walaupun status pinandita sebagai wakil pandita, tentunya memiliki kewenangan didalam menyelesaikan upacara/upakara (yajña) sepanjang tidak bersifat prinsipil dan inipun atas seijin dan petunjuk pandita atau nabe yang bersangkutan. Adapun mengenai tingkat upacara yang dilaksanakan terbatas pada tingkat pedudusan alit. Kewenangan lain yang ada pada seorang pandita yakni dalam upacara-upacara seperti :
a. menyelesaikan upacara Bhuta Yajña, sampai dengan tingkat menggunakan Caru Panca Sata.
b. Menyelesaikan upacara Manusa Yajña, diberi wewenang dari mulai bayi lahir sampai dengan otonan dan pawidi widana tingkat kecil.
c. Didalam menyelesaikan upacara Pitra Yajña, terbatas sampai dengan mendem sawa (mekingsan Gni).
d. Membuat tirtha panglukatan/pabersihan
e. Nganteb upakara piodalan/pujawali di pura/merajan yang diemongnya sampai batas ayaban tertentu.
f. Nganteb upakara pada upacara/yajña tertentu di lingkungan keluarga dengan tirtha pamuput dari pandita
g. Istilah yang digunakan oleh pinandita adalah “Nganteb” bukan “muput”.
h. Membantu pelaksanaan yajña tertentu dari pinandita suatu pura dengan seijinnya
i. Menggunakan Genta
j. Menggunakan mantra, dan mudra tertentu bila sudah mewinten dengan ayaban bebangkit serta sudah mendapat bimbingan dan ijin dari pandita
Adapun mengenai busana yang dipergunakan berikut perlengkapan dari seorang pinandita antara lain :
a. rambut panjang atau bercukur.
b. Pakaian: destar, baju, saput (selimut), kain dalam melakukan upacara, semuanya berwarna putih.
c. Dalam melakukan pemujaan menggunakan: genta, dulang, pasepan, sangku ( tempat air suci atau tirtha ) bunga, Gandaksata.
Sedangkan penghargaan yang menjadi hak pemangku/pinandita adalah:
1. Bebas dari ayahan desa
2. menerima sesari/bagian sesari
3. menerima hasil pelaba pura (bila ada)

VII.  Disiplin Pinandita/Pemangku:
1. Menjaga kebersihan (lahiriah) dan kesucian diri (bathiniah) dengan cara setiap pagi mapeningan
2. Berpakaian sesuai dengan sesana kepinanditaan/kepemangkuan
3. Mempunyai perlengkapan pemujaan: sebuah dulang, diatasnya ada ; genta, tempat dupa, pasepan, sangku, sesirat dari daun lalng, caratan tempat air bersih, botol tetabuhan, canting, dan bunga. Sebuah kekasang dan Genitri.
4. Aturan kecuntakaan bagi Pemangku;
a. Tidak kena cuntaka karena orang lain
b. Terkena cuntaka bila ada anggota keluarga yang serumah meninggal dunia
c. Pemangku istri terkena cuntaka bila haid
5. Bila kawin.menikah harus mesepuh (mewinten ulang) dengan tingkat ayaban yang sama seperti sebelumnya, bersama-sama istrinya.
6. Pemangku yang dihukum karena tindak pidana (kriminal) diberhentikan sebgai pemangku oleh warganya.
7. Jenasah pemangku tidak boleh dipendem.
8. Tidak cemer: memikul, nywun, sesuatu yang tidak patut, nganggur di warung, metajen/berjudi, mabuk-mabukkan, melanggar Tri Kaya Parisuddha, anayub cor, tidak makan/minum di rumah yang sedang cuntaka, mengusung mayat, diungkulin oleh orang yang mengusung mayat atau orang yang nyuwun tirtha pangentas, memikul bajak, menarik sapi, menginjak tahi sapi, membuang hajat di air, mewarih di abu/apai/air, memakan makanan yang tidak patut, tidak sekamar dengan istri yang sedang haid. (Sumber: Indik Kepemangkuan, Tim Penyusun Buku-buku Agama Hindu Pemda TK I Bali: 1991)

VIII.  Kesimpulan
1. Kita wajib bersyukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi karena atas waranugrahaNya Atman telah re-inkarnasi ke dalam tubuh manusia, yang mempunyai sabda, bhayu, dan idep. Dibandingkan dengan binatang yang mempunyai sabda dan bhayu, apalagi tumbuhan yang hanya memiliki bhayu saja.
2. Pemangku wajib bersyukur karena telah ditakdirkan menjadi manusia suci. Seoarang pemangku/pinandita tidak begitu saja bisa menjadi pemangku. Menurut Rontal Yama Purana Tattwa, hidup dan kehidupan manusia sudah direncanakan jauh sebelum re-inkarnasi. Oleh karena itu janganlah menganggap bahwa menjadi pemangku itu suatu ”kebetulan”
3. Menjadi pemangku adalah suatu kebanggan, karena: 1) menjadi tapakan Widhi, disayang oleh Ida Sang Hyang Widhi/Dewata/Bhatara, 2) mempunyai kesempatan yang luas untuk mensucikan diri di jalan Dharma agar mencapai Moksartham Jagadhita, 3) mempunyai tugas suci mengabdi kepada masyarakat, sebagai tabungan membentuk karma wasana yang baik.
4. Oleh karena menjadi kesayangan Ida Sang Hyang Widhi/ Dewata/ Bhatara, pertahankanlah agar tugas suci ini dapat terlaksana dengan baik, menjadi pemangku yang profesional, sehingga mengharumkan linggih Ida Bhatara Sasuhunan. Kehidupan pemangku adalah hidup suci dan berdisiplin.
5. Pemangku yang melaksanakan tugasnya dan kehidupannya dengan baik akan mendapat karma yang baik tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi arwah leluhurnya, sampai tujuh tingkat ke atas (Rontal Yama Purana Tattwa)
6. Pemangku adalah pengabdi: pengabdi Ida Sang Hyang Widhi  dan pengabdi umat manusia. Oleh karena itu  dahulukan tugas/kewajiban dari pada hak
7. Untuk dapat menjadi pengabdi yang baik , pengetahuan mengenai Tattwa, susila, dan acara agama (upakara/upacara) harus dikuasai dengan cara belajar. Belajarlah dari guru yang baik, buku, rontal, dharma wacana, kursus/pelatihan, apa saja yang dapat menambah pengetahuan, karena menurut Rontal Dharma Kauripan, Sulinggih yang baik adalah Sulinggih yang ”berilmu”
8. Pelajar akan cepat mencapai kemajuan bila mempunyai sifat-sifat dan pemikiran, seperti: tidak merasa diri pintar, rendah hati, tidak fanatik, tidak sombong, mau mendengarkan pendapat orang lain, rajin dan disiplin, menghargai orang lain, berpikir kreatif dan berinisiatif, obyektif dan jujur, pandai mengambil keputusan (Ida Pandita Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi, 2000: 4).

IX. Penutup
Demikian secara singkat makalah ini dapat disampaikan, dengan harapan dapat menjadi lentera kecil yang akan memberikan secercah cahaya kesucian kepada para pemangku/pinandita yang dengan tulus hati telah mau mengabdikan dirinya bagi kebenaran. Semoga melalui subha karma para pemangku/pinandita kesadaran umat Hindu untuk  mau mempelajari, menghayati dan mengamalkan Veda semakin semarak dan mendalam.

Om purnam adah purnam idam, Purnat purnam udhacyate, Purnasya purna ma dhaya, Purnam iva vasisyate
Om sarve bhavantu sukhinah, Sarve santu niramayah, Sarve bhadrani pa syantu, Ma kascit duhkha bhag bhavet
Om Santih, Santih, Santih